Bisnis yang beretika dan humanis.
Kesan itu sedemikian kental tertanam di benak rekan-rekan dan
yuniornya dalam bekerja. Selain dikenal sebagai sosok yang tegas dan
disiplin, dia juga sangat jujur. Namun, gaya kepemimpinan dia tetap
membumi dan tidak menonjolkan diri.
Dia adalah Julius Tahija, orang Indonesia pertama yang menduduki
jabatan tertinggi di Caltex (dikenal sebagai PT Caltex Pacific
Indonesia/sekarang Chevron), yakni sebagai Ketua Dewan Direksi. Jabatan
itu dia raih pada tahun 1966, setelah mengawali karier di bidang
perusahaan minyak dan gas tersebut pada tahun 1951 sebagai Assistant to
the Managing Director.
Sisi-sisi Julius Tahija itu muncul dalam diskusi di sela-sela
peluncuran dua buku Julius Tahija di Jakarta, Sabtu (8/10/2011). Mantan
Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim dan mantan Presiden Direktur CPI
Baihaki Hakim menyampaikan kesan mereka soal Julius Tahija.
Buku pertama, Melintas Cakrawala, adalah otobiografi yang mengisahkan
filsafat hidup dan etika bisnis Julius Tahija. Buku tersebut merupakan
terjemahan dari buku berjudul Horizon Beyond yang diterbitkan Time
Edition Pte Ltd tahun 1995.
Pada tahun 1997, edisi pertamanya dalam bahasa Indonesia berjudul
Melintas Cakrawala dan diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama. Edisi
kedua dalam bahasa Indonesia diterbitkan Yayasan Tahija pada tahun 2011.
Buku kedua, Memimpin dengan Nurani, diterbitkan oleh Yayasan Tahija
tahun 2011. Buku ini berisi kesan dan pelajaran bisnis dari delapan
orang yang bersinggungan dengan Julius Tahija dalam pekerjaan.
Mereka antara lain Baihaki Hakim yang tegas mengaku sebagai murid
Julius Tahija, Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang memandang Julius
Tahija sebagai salah seorang yang dikagumi, dan Presiden Direktur PT
CIMB Niaga Arwin Rasyid yang mengenal Julius Tahija sebagai Komisaris
Bank Niaga.
Hati nurani
Julius Tahija, yang lahir di Surabaya pada 13 Juli 1916, memiliki
catatan karier bisnis yang panjang. Mantan sersan KNIL yang menikah
dengan Jean itu meninggal dunia pada 30 Juli 2002, saat menjabat sebagai
Ketua Emeritus Dewan Komisaris PT Caltex Pacific Indonesia. Dia
memperoleh Bintang Mahaputra Nararya dari Pemerintah Indonesia dan
Honorary Officer in the Order of Australia yang diserahkan Perdana
Menteri Australia John Winston Howard pada Februari 2002.
Baihaki Hakim dalam diskusi yang dimoderatori wartawan senior Sabam
Siagian menyebutkan, Julius Tahija adalah pebisnis yang menonjolkan hati
nurani. Dia tidak menggunakan trik untuk memanfaatkan profit.
”Beliau adalah orang yang sangat low profile. Tidak
menonjolkan keberhasilan kita. Saat itu, kan, memang tidak banyak
perusahaan asing di Indonesia. Jadi, jangan sampai menimbulkan
kecemburuan,” ujar Baihaki.
Emil Salim bertemu Julius Tahija tahun 1981. Saat itu Julius Tahija,
yang meminta bertemu, memaparkan keberadaan sumber minyak di bawah Danau
Zamrud yang kaya ekosistem di wilayah Sumatera.
Menurut Emil yang diajak Julius Tahija untuk datang ke lokasi
tersebut, Julius Tahija dengan tegas menyatakan tidak akan merusak danau
tersebut dan hutan di sekelilingnya jika nantinya mengeksplorasi sumber
minyak di bawah danau. Akhirnya, Julius Tahija menggunakan teknologi
bor untuk membuat sumur minyak yang miring, tidak tegak lurus dengan
permukaan tanah, sehingga tidak merusak danau di atasnya. Biayanya
jutaan dollar AS, cukup tinggi pada masa itu.
”Agak aneh juga. Perusahaan minyak, yang biasanya menggasak
lingkungan, kali ini membela lingkungan,” ujar Emil, disambut tawa tamu
yang hadir.
Di luar segala sisi etis dan humanisnya dalam berbisnis, Julius
Tahija tetap seorang ayah, suami, dan kakek yang luar biasa dicintai
keluarganya. Ia memiliki dua putra, yakni George Tahija dan Sjakon
Tahija, serta lima cucu. ”Nilai yang diajarkan bagi kami adalah jujur
kepada orang lain dan diri sendiri. Sikapnya sama di perusahaan dan di
depan keluarga,” kenang George.
Julius Tahija selalu hidup seimbang antara pekerjaan dan keluarga. Di
sela-sela kesibukan, dia juga selalu mengusahakan waktu bagi istri,
anak-anak, dan cucu-cucunya.
Seperti disampaikan George dalam acara peluncuran buku tersebut,
”Ayah adalah pekerja keras sekaligus pemerhati sosial budaya di
Indonesia. Namun, di balik semua itu, dia tetap ayah dan suami bagi
keluarganya.” (Dewi Indriastuti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar